Ukhuwah

Ass. Wr. Wb.

Salah satu surah Al-Qur'an yang paling banyak memberi tuntunan berinteraksi adalah surat ke-49 (al-Hujarat). Surat ini menurut sebagian pakar sengaja ditempatkan oleh Allah sesudah surah Muhammad (Q.S. 47), surah yang juga dinamai al-Qital (pertempuran). Dan surat itu pun ditempatkan sesudah surah al-Fath (kemenangan) (Q.S. 48), karena pertempuran dapat mengakibatkan kemenangan dan dikuasainya satu wilayah, serta penguasaan wilayah mengharuskan adanya peraturan dan tunutnan bagi warga wilayah itu. Nah, surah al-Hujarat memberi tuntunan beraneka ragam, dimulai dengan tuntunan berinteraksi dengan Allah SWT (ayat1), disusul dengan interaksi dengan Rasul SAW (ayat2-5). Kemudian bagaimana bersikap terhadap orang2 fasik (durhaka) serta dampak buruknya (6-7-8). Selanjutnya, apa yang harus ditempuh jika terjadi perbedaan dan perselisihan antara kaum beriman, serta bagaimana menghindari benih perselisihan (ayat 9-12). Ada pula uraian tentang kesatuan asal-usul manusia dan tolok ukur kemuliaan disisi Allah (ayat13). Dan diakhiri dengan penegasan bahwa keimanan tak dapat diukur melalui pengakuan lisan semata-mata, tetapi dengan bukti pengamalan, dan pada akhirnya hanya Allah-lah yang maha mengetahui kadar keimanan dan kesalehan seseorang (Ayat 14-18). Dalam surah al-Hujarat itu Allah SWT menekankan tentang ukhuwah, baik sesama Muslim maupun sesama manusia. Ukhuwah, yang biasa diartikan „persaudaraan", terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti „memperhatikan". Makna asal kata ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian dari semua pihak yang merasa bersaudara. Perhatian itu dicurahkan karena adanya persamaan antara pihak2 yang bersaudara, sehingga makna asal tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya berarti „persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik persamaan itu dalam keturunan dari segi ibu atau bapak atau keduanya, maupun dari segi persusuan." Bahkan mencakup persamaan dalam salah satu sifat seperti kemanusiaan, suku, agama, profesi, perasaan dan sebagainya. Dalam kamus2 bahasa, ditemukan kata akh yang dibentuk dari kata ukhuwah digunakan juga dalam arti teman akrab atau sahabat, yang tentunya terjalin karena adanya persamaan antara mereka. Karena itulah, Al-Qur'an menamai orang boros sebagai „saudara setan" (Q.S 17:27), karena persamaan sifat mereka dalam keborosan. Dalam Al-Qur'an, kata akh (saudara) dalam bentuk tungaal ditemukan sebanyak 52 kali. Sedang untuk jamaknya Al-Qur'an menggunakan dua bentuk. Pertama ikhwaan yang berarti „persaudaraan tidak sekandung". Kata ini ditemukan sebanyak 22 kali, sebagian digandengkan dengan kata addin (agama), seperti surat at-Taubah 9:11,"Apabila mereka bertaubat,melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara2 kamu seagama. Sedangkan sebagian yang lain tidak dirangkaikan dengan kata addin, seperti: Jika kamu menggauli mereka (anak2 yatim) maka mereka adalah saudara2mu (Q:S: 2:220). Bentuk jamak kedua, adalah kata ikhwat yang terdapat sebanyak tujuh kali, yang enam diantaranya digunakan untuk makna „persaudaraan seketurunan", dan hanya sekali dalam arti „tidak saudara seketurunan" yaitu: Innamaa almu'minun(a) ikhwah (Sesungguhnya orang2 mukmin itu bersaudara)(Q.S. 49:11). Menarik dipertanyakan, mengapa Al-Qur'an ketika berbicara tentang persaudaraan antara sesama mukmin tidak menggunakan kata ikhwan, padahal kata ini digunakanya untuk makna persaudaraan tidak seketurunan. Bukankah banyak diantara orang mukmin yang tidak bersaudara seketurunan? Hemat saya hal ini bertujuan mempertegas dan mempererat jalinan hubungan antara sesama Muslim, seakan2 hubungan itu dijalin bukan saja oleh keimanan meraka-yang dalam ayat itu ditunjuk oleh kata almuminun - tetapi ia juga „seakan-akan" dijalin oleh persaudaraan seketurunan yang ditunjuk kata ikhwah tersebut. Jadi, merupakan kewajiban ganda bagi setiap mukmin untuk selalu menjalin dan memelihara hubungan persaudaraan harmonis di antara mereka, dan tak ada satu alasan pun yang dapat dijadikan dalih untuk melahirkan keretakan hubungan. Guna memantapkan segala macam ukhuwah, Al-Quran terlebih dulu menggarisbawahi bahwa suatu perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan ini. Perbedaan merupakan kehendak Ilahi juga, demi kelestarian hidup ini, sekaligus demi mencapai tujuan kehadiran mahluk di pentas bumi ini. (Baca Q.S. 5:48). Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat, niscaya diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi seperti binatang, atau benda2 tak bernyawa yang tak memiliki kemampuanmemilah dan memilih, karena hanya dengan demikian seluruhnya akan satu pendapat. Berkelompok --selama tidak mengakibatkan pertikaian dan perpecahan-- tidak dilarang, sesuai firman-Nya:"Janganlah kamu menjadi seperti orang2 yang berfirqah2 (berkelompok) dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka"(Q:S: 3:105). Setiap perbedaan pendapat dan perselisihan harus diselesaikan sejak dini, dan meski itu terjadi antara dua orang sekalipun. Kalau mereka berdua tak mampu menyelesaikannya, mak harus tampil pihak ketiga yang mempertemukan pendapat mereka, dengan menjadikan tuntunan Ilahi sebagai rujukan. Demikian petunjuk ayat 9 al-Hujarat. Tuntunan Ilahi diuraikan oleh Q.S.4:59, yang menekankan perlunya menaati Allah dan Rasulnya (mengembalikan segala persoalan kepada Al-Qur'an dan Sunnah).Dan bila tidak ditemukan secara eksplisit jawabannya--sehingga terjadi perbedaan dan perselisihan--maka dikembalikan pada nilai dan jiwa tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah. Bila setelah ini masih aada yang menolak, maka pihak ketiga harus mengambil sikap tegas,yang oleh ayat al-Hujarat diatas dinamai qatiluw. Kata ini tidak selalu harus diartikan „perangilah". Itu pula sebabnya Al-Qur'an menggunakan kata tersebut antara lain dalam arti „mengutuk" seperti dalam Q:S: 9:31. Untuk memantapkan persaudaraan antara sesama Muslim, Al-Qur'an menggarisbawahi perlunya menghindari segala macam sikap lahir dan batin yang dapat mengeruhkan hubungan antara mereka. Setelah menyatakan bahwa innamaa al-mu'minuna ikhwat (orang2 mukmin bersaudara) dan memerinthkan melakukan ishlah (perbaikan hubungan), Al-Qur'an memberi contoh penyebaba keretakan hubungan - sekaligus melarang setiap Muslim melakukannya-dengan firman-Nya: „Wahai orang2 yang beriman, janganlah satu kaum (pria) mengolok-olokkan kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka dari mereka (yang memperolok-olokkan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) terhadap wanita yang lain, karena boleh jadi mereka lebih baik dari (yang memperolok-olokkan), janganlah kamu mencela dirimu sendiri (jangan mencela orang lain, karena mengundang orang lain mencelamu), jangan kamu panggil-memanggil dengan gelar2 yang buruk. Sejelek-jelek panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Barangsiapa tidak bertobat maka mereka itulah orang2 yang zalim (Q.S. 49:11). Lanjutan ayat diatas memerintahkan mukmin untuk menghindari prasangka buruk, mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing yang diibaratkan Al-Qur'an seperti memakan daging saudara sendiri yang telah meninggal dunia. (Baca Q.S. 49:12). Al-Qur'an dan Hadits tidak merumuskan definisi persaudaraan, tetapi memberi contoh praktis. Pada umumnya berkaitan dengan sikap kejiwaan (Q.S. 49:11-12), atau yang tercermin dalam Hadits Nabi SAW, antara lain: „Janganlah kalian saling mendengki, jangan pula saling membenci dan jadilah hamba2 Allah yang bersaudara." Ini wajar, karena sikap batiniahlah yang melahirkan sikap lahiriah. Demikian pula, dapat dimengerti jika sebagian dari redaksi ayat dan Hadits yang berbicara tentang ini dikemukakan dalam bentuk larangan. Bukan saja karen attakhliyah (menyingkirkan yang jelek) harus didahulukan daripada attahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan), tetapi juga karena „melarang sesuatu itu mengandung arti memerintahkan untuk berbuat sebaliknya". Untuk mantapnya ukhuwah, yang dibutuhkan bukan sekedar penjelasan segi2 persamaan dalam pandangan agama- atau sekedar toleransi menyangkut perbedaan pandangan- tetapi yang lebih penting lagi adalah langkah2 bersama yang dilaksanakan, sehingga nikmatnya dirasakan seluruh umat. Semoga.

oleh KGPH Ario J.N.