Ramadhan bulan Tarbiyah ( Hikmah Puasa )

Ass. Wr. Wb.

Allah swt berfirman :

„Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa," (QS. 2 183)

Ayat ini merupakan bagian dari potongan panjang ayat-ayat surat Al-Baqarah yang membahas beberapa sistem sosial kemasyarakatan dalam Islam. Potongan ayat yang mengambil tema ini terbentang antara ayat 178 hingga ayat 203 (25 ayat). Secara garis besar, ke 25 ayat tersebut membahas sistem-sistem sosial ini:

Pertama, hukum qishosh (178-179)
Kedua, hukum wasiat (180-182)
Ketiga,hukum shaum (183-188)
Keempat, beberapa hukum mengenai jihad dan infaq fii sabilillah (189 - 195)
Kelima, hukum haji (196 - 203)

Peletakan shaum di bulan ramadhan pada konteks sistem-sistem sosial Islam, secara implisit mengisyaratkan refleksi sosial dalam substansi shaum. Maksudnya shaum bukan hanya ritual tahunan yang bertujuan membina individu muslim. Tapi, ia juga mengandung sejumlah imbasan positif dalam kehidupan masyarakat. Getaran isyarat ini terasa amat kuat dalam kelima hukum diatas, yang semuanya dikunci dengan penutup ‚La'allakum Tattaquun' (semoga kamu bertaqwa).

Dalam Islam ada banyak jenis ibadah. Ada ibadah yang bersifat lisan (dzikir), tindakan(sholat), harta (zakat) dan lainnya. Ada juga yang menggabungkan beberapa sifat, seperti juhad dan haji yang memadukan antara harta dan perbuatan. Ada lagi yang bersifat pasif. Artinya, perintahnya berisi larangan untuk melakuakan sesuatu hal tertentu (Al-Imtina'). Shaum termasuk dalam golongan ini.

Tapi sekalipun bersifat pasif, shaum sesungguhnya menyentuh banyak dimensi -khususnya dimensi kejiwaan - yang pada askhirnya bersifat aktif. Sebab, hampir semua efek shaum bermuara pada peningkatan pengendalian diri (imsakul nafs).

Ayat diatas menyatakan bahwa perintah shaum bukan perintah baru. Semua umat terdahulu juda telah diwajib-kan menjalani shaum. Hanya bentuk dan tata cara pelaksanaannya yang agak berbeda. Ibnu Katsir dalam taf-sirnya menyebutkan menyebut riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibunu Mas'du serta sahabat lainnya, bahwa shaum umat terdahulu - sejak nabi Nuh - adalah tiga hari setiap bulan. Syariat ini baru baru dinasakh setelah Islam datang. Itupun setelah hijrah ke Madinah. Sebab sebelum itu, sahabat-sahabat Rasulullah SAW juga bershaum tiga hari setiap bulan.

Kedalaman akar historis syariat shaum itu, jelas menambah bobot urgensi shaum serta semua dimensi tarbawi yang tercakup didalamnya. Tapi bobot itu semakin terasa kuat, ketika kita mengaitkan momentum turunya shaum itu. Yaitu, pada bulan Ramadhan, bulan turunya Al Qur'an.

Shaum secara substansial adalah sarana pembinaan masyarakat islam yang dilaksanakan secara berkala. Sebagai sarana, shaum memiliki keistemewaan tersendiri, karena ia menyuruh setiap individu masyarakat muslim secara langsung. Pada kaitan yang terakhir ini, syariat shaum dibangun sedemikian rupa berdasar keselarasan struktur psikis dan fisik manusia sebagai individu, serta keterkaitannya dengan pola kehidupan sosial masyarakat muslim.

Manusia, yang terdiri dari unsur tanah dan ruh, selalu mengalami pertarungan internal, antara kehendak ruh untuk menjadi suci sesuci malaikat, dengan daya tarik tanah (dunia) untuk memenuhi tuntutan nafsu hewani dalam dirinya.

Peristiwa menang kalah dalam pertarungan itu merupakan siklus kehidupan rohani manusia. Melalui shaum, Allah swt mensuplai manusia dengan kekuatan ruh untuk memenangkan kehendak-kehendak baik dalam dirinya, serta mematikan seluruh dorongan jahat yang bercokol dalam nafsunya.

Dorongan-dorongan jahat ke-tanah-an dalam diri manusia mempunyai dua kecenderungan: hewani dan syaitho-ni. Dan keduanya, tertanam dalam instink (gharizah) manusia, lalu terdorong secara fisik setelah mendapat suplai makan dan minum atau rangsangan luar (wanita).

Maka ketika ketiga hal tersebut dikeluarkan - untuk sementara waktu - dari bagian kehidupan manusia. Ia secara otomatis akan merasakan ‚penguatan' pada jiwanya. Seluruh pikiran dan jiwanya akan terfokus pada tujuan-tujuan besar yang melandasi proses penciptaannya, yaitu ibadah kepada Allah SWT. Pada waktu yang sama, kehendak-kehendak baiknya akan terdorong secara kuat untuk melaksanakan semua kebajikan yang menyam-paikannya pada tujuan-tujuan besar itu, sekaligus merasa lebih tinggi dari semua bentuk daya tarik duniawi, baik makan, minum atau menggauli wanita.

Karena shaum diwajibkan secara massal kepada kaum Muslimin, sudah tentu pengkondisian individu, seperti tersebut tadi - akan mengimbasi pola dan nuansa kehidupan sosial masyarakat muslim.

Efek sosial tersebut terlihat pada beberapa hal berikut: Pertama, menguatnya ikatan-ikatan manusiawi dalam kehidupan sosial masyarakat muslim. Lapisan masyarakat kaya, pada bulan ini, secara langsung (ikut) merasakan penderitaan golongan masyarakat fakir dan miskin. Itu merupakan bentuk pelatihan kepekaan sosial yang bernuansa imani. Sehingga efeknya terasa lebih lebih kuat dibanding bentuk sarana pelatihan lainnya. Ini sebabnya, mengapa kaum muslimin itu rata-rata mudah berderma dan berinfaq di bulan Ramadhan.

Kedua, menguatnya semangat pembelaan dan pengorbanan di hati kaum muslimin. Sebab, selama shaum mereka mengalami kemerdekaan jiwa dan iman dari segala bentuk perbudakan duniawi (hewani dan syaithoni) yang sering mengekanginya di luar shaum. Keterlepasan jiwa dari pesona dunia itu telah merigankan langkah mereka menapaki langit ketinggian, mengeratkan hubungan dan ketergantungan mereka kepada Allah sekaligus rasa percaya diri dan keberanian. Inilah rahasia besar, mengapa Allah SWT mesyariatkan jihad (perang) pertama, yaitu perang Badar, justru pada bulan Ramadhan. Sebab, secara imani, mereka lebih kondunsif menerima beban berat, dibanding ketika tuntutan jasmani mereka mendminasi suasana hati mereka.

Ketiga, menurunnya doronagn-doronagn destruktif (merusak), karena gerak syahwat mereka terbatasi selama shaum. Dalam konteks kehidupan sosial, hal in bisa dilihat dari menurunnya angka kriminalitas selama bualn ramadhan.

Maka benar ketika Ia menumbuhkan taqwa melalui syariat syaum. (Sumber : Inthilaq, No. 2 / Th. II 18 Februari 1994)