NUZULU 'L-QURAN

Ass. Wr. Wb.

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil)... (QS: Al-Baqarah:185) Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Al-Quran yang mulia telah diturunkan pertama kali oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya dengan perantaraan Jibril di dalam bulan suci Ramadhan seperti yang difirmankan Allah SWT di dalam ayat di atas. Ayat-ayat Al-Quran yang pertama kali diturunkan Allah SWT ialah ayat 1 sampai ayat 5 surat Al-'Alaq, yaitu di waktu Nabi Muhammad saw. berkhalwat di gua Hira. Imam Bukhari meriwayatkan dari 'Aisyah r.a., menceritakan cara permulaan wahyu, ia berkata: Wahyu yang diterima oleh Rasulullah saw. dimulai dengan suatu mimpi yang benar. Dalam mimpi itu beliau melihat cahaya terang laksana fajar menyingsing di pagi hari. Kemudian beliau digemarkan (oleh Allah) untuk melakukan khalwat ('uzlah). Beliau melakukan khalwat di gua Hira -melakukan ibadah- selama beberapa malam, kemudian pulang kepada keluarganya (Khadijah) untuk mengambil bekal. Demikianlah berulang kali hingga suatu saat beliau dikejutkan dengan datangnya kebenaran di dalam gua Hira. Pada suatu hari datanglah malaikat lalu berkata, „Bacalah."
Beliau menjawab, „Aku tidak dapat membaca."
Rasulullah saw. menceritakan lebih lanjut: Malaikat itu lalu mendekati aku dan memelukku sehingga aku merasa lemah sekali, kemudian aku dilepaskan.
Ia berkata lagi, „Bacalah."
Aku menjawab, „Aku tidak dapat membaca."
Ia mendekati aku lagi dan mendekapku, sehingga aku merasa tak berdaya sama sekali, kemudian aku dilepaskan.
Ia berkata lagi, „Bacalah."
Aku menjawab,„Aku tidak dapat membaca."
Untuk ketiga kalinya ia mendekati aku dan memelukku hingga aku merasa lemas, kemudian aku dilepaskan.
Selanjutnya ia berkata lagi, „Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang telah menciptakan, (Dia) telah menciptakan manusia dari segumpal darah..." dan seterusnya...

Kita semua tahu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang baik, bulan pengampunan, bulan penuh rahmat dan berkah, bulan yang telah dimuliakan Allah SWT dengan turunnya wahyu (Al-Quran) permulaan, sebagai petunjuk bagi manusia. Dalam tulisan yang singkat ini kami tak akan membahas „yang itu-itu melulu", akan tetapi kami ingin mencoba menyajikan pada sidang pembaca suatu sisi lain dari keajaiban-keajaiban dan pesona Al-Quran itu sendiri sebagai mu'jizat di atas segala mu'jizat dalam menghayati Nuzulu L-Quran.

Keajaiban-keajaiban Al-Quran sebagai mu'jizat di atas segala mu'jizat

Katakanlan: „Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (QS: Bani Israil:88)

Untuk memperoleh pengertian yang jelas apa yang dimaksud dengan mu'jizat, beberapa definisi disebutkan berikut ini: -Peristiwa yang tidak dapat dijelaskan oleh hukum alam. Dianggap supernatural atau merupakan tindakan Tuhan. -Suatu peristiwa pribadi yang menimbulkan rasa kagum. -Suatu tindakan di luar kekuasaan manusia, atau suatu ketidak mungkinan. Adalah masuk akal, semakin besar ketidak mungkinan, semakin besar pula keajaiban itu. Semisal ada orang meninggal di hadapan kita, dan secara medis dikatakan mati. Kemudian datang seorang ahli sihir yang memerintahkan mayat tersebut dengan berkata: „Hiduplah!", maka mayat itu hidup dan berjalan pergi. Kita semua tentu heran dan menyebut hal itu ajaib. Seandainya peristiwa semacam ini terjadi setelah beberapa hari mayat diam di kamar jenazah, kita sudah barang tentu akan mengklaim hal itu sebagai kejaiban yang lebih besar. Akan tetapi jika mayat dibangkitkan dari kubur berabad-abad setelah tubuhnya membusuk dan terurai tanah, maka peristiwa itu adalah suatu keajaiban yang terbesar dari semuanya. Sudah menjadi sifat umum manusia sejak zaman dahulu, di mana manusia lebih menuntut bukti-bukti daripada menerima ajaran utusan Tuhan. Risalah kebenaran serta petunjuk yang dibawa oleh rasul Tuhan dianggap sebagai lelucon belaka. Sebagai contoh, ketika Nabi Isa as. menyerukan pada kaumnya, Bani Israil, agar menahan diri dari keformalan hukum dan berperilaku baik serta menerima kebenaran undang-undang dan perintah-perintah Tuhan, mereka menuntut tanda-tanda (mu'jizat) untuk membuktikan kejujurannya. Sebagaimana tercatat dalam Bibel: Kemudian beberapa ahli Kitab dan orang Farisi menjawab; „Bersabdalah Tuan, kami ingin memperoleh suatu bukti darimu". Namun Dia menjawab dan berkata kepada para pengikutnya yang setia: „Angkatan yang jahat dan berbuat maksiat ini mencari suatu bukti. Dan tidak ada bukti yang akan diberikan padanya, selain bukti nabi Yunus. (Bibel: Matius 12: 38-39)

Nabi Isa as. tampaknya tak memanjakan orang-orang Yahudi; walaupun narasi Gospel mengisahkan, beliau benar-benar menunjukkan beberapa keajaiban. Kitab Bibel penuh dengan peristiwa supernatural; tindak perbuatan Nabi berdasarkan kekuatan yang diberikan oleh Tuhan. Dalam realitanya semua tanda, keajaiban serta mu'jizat merupakan aksi-aksi Tuhan. Mu'jizat tersebut ditunjukkan dengan tangan Nabi, karenanya kita melukiskan sebagai mu'jizat para Nabi. Demikian pula halnya Rasulullah saw. saat harus berhadapan dengan kaum musyrik Mekkah enam ratus tahun setelah kelahiran Nabi Isa as. Di saat beliau saw. secara terang-terangan mendakwahkan Islam, orang-orang musyrik Mekkah meminta mu'jizat sebagaimana tuntutan orang-orang Yahudi kepada Isa Al-Masih.

Dan orang-orang kafir Mekkah berkata: „Mengapa tidak diturunkan kepadanya mu'jizat-mu'jizat dari Rabb-nya?" Katakanlah: „Sesungguhnya mu'jizat-mu'jizat itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata". (QS: Al-'Ankabut:50)

Di dalam ayat di atas Al-Quran tidak menyebutkan kata „mu'jazah" sebagai mu'jizat, melainkan kata arab yang dipakai di sana adalah „aayaatun" yang secara harafiah dalam konteks ayat di atas berarti „tanda-tanda kekuasaan Tuhan". Namun bukti apa yang mereka inginkan? Bukankah Allah SWT telah menciptakan kita dari tanah liat; dari tidak ada kemudian menjadi ada. Dahulu kecil sehingga kemudian menjadi dewasa; memiliki keindahan, perkasa, pintar, saling mengasihi satu sama lain. Saat keperkasaan musnah, datang uban menghiasi kepala dan kerentaan merenggut hingga jatuh dan tidak berdaya lagi. Allah SWT mengutus Rasul-Nya untuk menerangkan tanda-tanda kekuasaan-Nya secara gamblang dan jelas serta memperingatkan konsekuensi penolakannya. Tidak cukupkah itu? Kecendrungan tuntutan mereka secara generell dilukiskan sebagai berikut: Dalam moment-moment spesifik mereka bertanya kepada Rasulullah saw., „Naiklah dengan tangga ke surga dan turunkan sebuah kitab dari sisi Tuhan ke hadapan kami, 'kemudian kami akan percaya'". Atau „Kamu lihat gunung di sana, ubahlah jadi emas, 'kemudian kami akan percaya'". Atau „Buatlah sungai-sungai yang dipancarkan dan mengalir ke gurun pasir, 'kemudian kami akan percaya'". Apa kata Rasulullah saw. untuk melawan pernyataan kaum musyrik yang skeptis dan tidak rasional itu? Dengan halus dan manis beliau menjawab: „Apakah aku mengatakan kepadamu, bahwasannya aku seorang malaikat? Apakah aku mengatakan kepadamu, bahwasannya di tanganku ini harta benda milik Tuhan? Aku hanya mengikuti apa yang telah diwahyukan (oleh Allah SWT) kepadaku. Sesungguhnya mu'jizat-mu'jizat itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata". Selanjutnya Allah SWT memerintahkan Rasulullah saw. agar menunjukkan kepada mereka bahwa Al-Quran yang mulia itu merupakan satu jawaban terhadap pemikiran hipokrit (munafik), kepicikan dan kecanduan mentalitas pagan (keingkaran/ kekafiran) mereka, seperti yang diabadikan Al-Quran pada ayat berikutnya:

Dan apakah tidak cukup untuk mereka, bahwasannya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) sedang dia dibacakan kepada mereka. Sesungguhnya dalam Al-Quran itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (QS: Al-'Ankabut:51)

Allah SWT mengajukan pernyataan sekaligus tantangan bagi golongan musyrik demi membuktikan kekuasaan-Nya dan kemu'jizatan Al-Quran:

1. Bagi seorang Nabi yang ummi (tuna rungu) dan tidak terpelajar, bahkan seorang yang tidak dapat menuliskan namanya sendiri, adalah sangat mustahil bagi Rasulullah saw. untuk dapat mengetahui peristiwa-peristiwa sejarah, seperti kisah Yusuf, ibu Musa ketika menghanyutkan anaknya di sungai, bahkan sampai kepada kisah Maryam dan putranya Isa Al-Masih secara jelas dan paripurna; bahkan jauh lebih konkret dan transparan sekali dari apa yang dapat kita perhatikan saat ini dalam Old- and New Testament. Allah SWT memberikan kesaksian serta mengajak kita untuk berfikir bahwa Rasulullah saw. tidak pernah mengarang isi kitab suci Al-Quran:

Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (yaitu Al-Quran) sesuatu kitab pun dan kamu tidak pernah menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikan (kamu pernah membaca dan menulis) tentu akan ragulah orang-orang yang mengingkari(mu). (QS: Al-'Ankabut:48)

Seandainya Rasulullah saw. seorang yang terpelajar, telah mampu membaca dan menulis, niscaya orang-orang menjadikannya dasar untuk meragukan Al-Quran sebagai firman Allah SWT. Beliau saw. akan dituduh mencontek naskah-naskah Yahudi dan Kristen dengan membaca kitab Taurat, Zabur dan Injil, atau mempelajari Aristoteles dan Plato kemudian menggubah semuanya ke dalam Al-Quran dengan bahasa yang indah, dan menjadikannya sebagai kitab suci yang sangat berpengaruh dalam perikehidupan dan pemikiran. Dengan demikian, jika pretensi (ketetapan hati) yang lemah ini dijadikan dasar untuk menolak kebenaran risalah Nabi Muhammad saw. maka itu patut untuk ditinggalkan.

2. Al-Quran membawa bukti authentik (tak diragukan) dari Allah SWT. Dia menantang orang-orang yang selalu bersikap skeptis untuk mencari dan menemukan kelemahan Al-Quran jika itu memang ada seperti disebutkan dalam firman-Nya:

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS: An-Nisaa':82)

Maka sudah barang tentu bahwa semua ini adalah hikmah yang dapat diambil dari keadaannya sebagai seorang ummi. Sampai kapan pun tidak akan ada manusia yang dapat menulis sama persis, sebagaimana risalah Al-Quran yang suci: konsisten dengan sendirinya, selamanya. Keberatan-keberatan orang-orang kafir hanya argumentatif belaka, kekerasan kepala, serta melawan pertimbangan dan suara hati sendiri.

Al-Quran dan iptek

Al-Quran yang mulia menganjurkan kita ummat Islam melakukan studi ilmiah alam semesta. Hal ini merupakan fenomena unik dalam literatur keagamaan; di mana dalam ajaran lain manusia justru hanya dininabobokan oleh ajaran-ajaran konvensionil tanpa adanya tuntutan untuk mengupas ajaran itu sendiri, karena tindakan yang demikian justru membahayakan eksistensinya. Al-Quran menekankan, segala sesuatu di alam semesta disediakan untuk kepentingan dan kebutuhan manusia, maka perlu diteliti dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Di samping itu, dengan kita melakukan penelitian yang diarahkan pada multivariasi fenomena alam sekitar, kita juga tentunya telah melakukan dzikrullah dan merasakan muroqobatullah. Karena itu Islam mewajibkan setiap muslim mencari ilmu pengetahuan, contohnya: -Anjuran mempelajari biologi: meneliti struktur dan fungsi organisme manusia, perkembangan embryo dan fetus hingga akhirnya berwujud manusia yang sempurna, fungsi dan distribusi hewan-hewan, klasifikasi dan distribusi tumbuh-tumbuhan. -Anjuran mempelajari fisika: meneliti susunan yang dimiliki alam dan materi yang dapat diubah menjadi energi. -Anjuran mempelajari kimia: meneliti sifat-sifat substansi, baik dasar persenyawaan dan hukum-hukum penggabungan, maupun aksi satu di atas yang lainnya. -Anjuran mempelajari geologi: meneliti struktur dan susunan mineral bumi, perbedaan strata komposisinya, perubahan-perubahan yang terjadi pada zat organik dan anorganik. -Anjuran mempelajari geografi: meneliti deskripsi bumi secara keseluruhan, bagian-bagiannya secara fisik, seperti laut, sungai, gunung, daratan dan sebagainya. Mineral-mineral, tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan pada masing-masing dataran dan pembagian daerah secara politis. -Anjuran mempelajari astronomi: meneliti sebab musabab timbulnya alternasi siang dan malam, pergantian musim, perpindahan planet-planet, dan fenomena yang berhubungan dengan benda-benda angkasa luar. -Anjuran mempelajari meteorologi: meneliti perpindahan angin, formasi dan evolusi kabut yang menghasilkan hujan dan fenomena lain yang serupa. Maka dalam kitab suci mana manusia dapat mengenali keagungan Rabb-nya melalui studi-studi ilmiah? Marilah kita buka kembali ayat-ayat Al-Quran seperti ayat-ayat 12-14 Surat Al-Mu'minun, ayat-ayat 36, 38-40 Surat Yasin, ayat-ayat 30 dan 33 Surat Al-Anbiyaa', ayat 45 Surat An-Nuur dan masih banyak lagi ayat-ayat yang mengandung makna kebesaran Allah SWT yang dapat kita kaji dari ciptaan-Nya di alam semesta ini, baik yang sudah terungkap maupun yang belum. Maha Suci Allah. Pesona ayat suci Al-Quran

Rasulullah saw. pernah meminta sahabatnya yang bernama Abdullah bin Mas'ud supaya membaca Al-Quran di hadapannya. Sebagaimana diketahui Ibnu Mas'ud adalah sahabat Nabi saw. yang terkenal dengan qira'ahnya yang bagus dan lagu serta suaranya yang merdu. Ibnu Mas'ud membaca beberapa ayat dari Surat An-Nisaa'. Tetapi setelah sampai ayat 41, maka Rasulullah saw. meminta Ibnu Mas'ud supaya berhenti, karena air matanya telah bercucuran terharu. Surat An-Nisaa' ayat 41 itu berbunyi:

Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap ummat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (QS: An-Nisaa':41)

Rasulullah saw. tak tahan mendengar ayat itu, bagaimana kalau beliau menjadi saksi kelak bagi ummatnya yang telah bobrok akhlaqnya, yang sudah rusak moralnya. Bagaimana pula beliau dihadirkan sebagai saksi bagi ummatnya yang kafir durhaka dan apakah beliau akan tahan melihat ummatnya yang durhaka itu dihalau oleh para malaikat ke neraka? Semuanya itu tentu terbayang di pelupuk matanya, dan oleh karena itu menangislah beliau. „Cukup, cukup, sampai di sini wahai Ibnu Mas'ud", kata Rasulullah saw. kepada sahabatnya yang ahli qira'ah lagi bersuara merdu itu.

Fudhail bin 'Iyad, yang kemudian menjadi ulama besar, pada mulanya selagi masih muda adalah seorang preman yang tergila-gila pada seorang perempuan. Pada suatu malam dia mendatangi pujaan hatinya itu untuk diculiknya. Akan tetapi setelah dia melompati pagar rumah sang gadis, tiba-tiba dia melihat dan mendengar sang gadis sedang membaca Al-Quran, mengumandangkan Al-Quran Surat Al-Hadid ayat 16 yang artinya:

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya, telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasiq. (QS: Al-Hadid:16)

Setelah mendengar ayat ini didengungkan dan dikumandangkan oleh sang gadis dengan suara yang merdu, maka Fudhail mundur dan mengurungkan niat jahatnya. Dan semalaman dia merenungkan peringatan Allah itu bagi hamba-Nya yang beriman. Jiwanya berbisik, kapan lagi anda akan insyaf, dan bertobatlah segera sebelum ajal datang menjemput, ya sebelum terlambat wahai Fudhail. Demikian, kemudian dia bertobat dan berusaha membina dirinya menjadi seorang muslim sejati, dan berkat tekun belajar, dia menjadi ulama besar yang cukup terkenal. Lain lagi dengan kisah Uthbah Al-Ghulam, seorang penjahat besar di negeri Basrah. Pada suatu hari dia mendengar pengajian di sebuah masjid Basrah. Waktu itu yang memberi ceramah agama adalah ulama besar Basrah yang amat terkenal, Syekh Hasan Al-Bashry. Syekh Hasan kebetulan sedang menguraikan Surat Al-Hadid ayat 16 tersebut dengan sejelas-jelasnya dan kemudian menyuruh hadirin, terutama bagi orang-orang yang berdosa, agar segera bertobat. Menjawab pertanyaan seorang hadirin, apakah dosanya bisa diampuni Allah bila dia bertobat, maka berkata Syekh Hasan, „Walaupun dosa anda sebesar dosanya Uthbah Al-Ghulam, Insya Allah dosa anda akan diampuni bila anda bertobat dengan sungguh-sungguh." Tiba-tiba terdengar orang meraung dan kemudian jatuh pingsan dalam masjid itu. Dan rupanya yang pingsan itu tak lain adalah Uthbah Al-Ghulam sendiri, sang penjahat terkenal. Setelah sadarkan diri dia bangkit mendekatkan dirinya kepada Syekh Hasan Al-Bashry dan beliau masih terus menasehatinya dari hati ke hati. Berkata Syekh Hasan, „Bila anda tahan sentuhan api neraka, maka silakan teruskan melakukan kejahatan. Tetapi bila tidak, maka segeralah bertobat! Dengan dosa-dosa yang anda lakukan itu berarti anda telah menghina, membebani jiwa anda sendiri. Maka lepaskanlah diri anda dari dosa itu dengan bersungguh-sungguh." Nasihat sang guru besar, ulama terkenal itu, sungguh menyentuh hatinya dan kemudian dia bertobat kepada Allah dengan taubatan nasuha. Kisah masuknya 'Umar bin Khaththab ra. ke dalam seruan Islam pun adalah kisah yang patut disimak. Sebagaimana diketahui, 'Umar bin Khaththab ra. adalah salah satu tokoh terkemuka dan disegani di kalangan kaum Quraisy di masa jahiliyah. Mulanya dia sangat menentang ajaran Islam yang dibawa Rasulullah saw. Tetapi kemudian melalui proses yang unik dia akhirnya menjadi seorang terkemuka Islam, yang membela ajaran ini di barisan depan bersama Rasulullah saw., bahkan menjadi Khalifah kedua setelah Abu Bakr Ash-Shiddiq. Sebagaimana dikisahkan pada suatu ketika 'Umar dengan pedang terhunus ingin menikam Rasulullah dan para sahabatnya yang masih sedikit jumlahnya yang sedang dibina Rasulullah saw. di rumah Arqam bin Abil di dekat Shafa. Di tengah jalan dia ditegur seseorang bahwa sebelum menindak orang lain lebih baik dia menyelesaikan urusan familinya sendiri terlebih dahulu. Orang itu menyampaikan kepada 'Umar bahwa adik kandungnya sendiri bersama suaminya telah menganut Islam menjadi pengikut Nabi Muhammad saw. 'Umar lantas berbelok ke rumah adiknya, Fatimah, yang kebetulan sedang membaca Al-Quran. Dengan serta merta 'Umar memperlihatkan kemarahannya dengan memukul langsung sang adik dan iparnya sendiri hingga babak belur. 'Umar membentak adiknya dan meminta supaya lembaran Al-Quran yang berada di tangannya dan baru saja dibacanya itu diberikan kepadanya. Tetapi Fatimah menolak dengan alasan, bahwa 'Umar adalah najis yang haram menyentuh lembaran suci Al-Quran itu. Karena rasa ingin tahunya sangat besar, maka dia mandi dan kemudian lembaran suci itu diberikan adiknya, Fatimah, kepada 'Umar. Dan setelah membaca beberapa ayat dari Surat Thaahaa, hati 'Umar berbalik seratus delapan puluh derajat. Ia kemudian masuk Islam.

Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy. Kepunyaan-Nya lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. Dialah Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Dia mempunyai Al-Asmaa' Al-Husna (nama-nama yang baik). (QS: Thaahaa:1-8)

Demikian mudah-mudahan ada manfaatnya. Jika ada kesalahan maka itu tak lain adalah dari kami; alhaqqu min rabbikum, wassalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

M. Chairoen Nazarudin (Sumber-sumber tulisan: Al-Quran dan terjemahnya; Sirah Nabawiyah; Al-Quran -Mu'jizat dari segala mu'jizat; Lembar Jum'at majalah Hidayatullah)